Any Reputrawati, Psi, Psikolog dari RSJ Prof. DR. Soeroyo, Magelang - Jawa Tengah menyarankan Moms agar tidak sembarang melakukan tes terhadap si kecil.
“Jangan melakukan psikotes hanya karena ikut-ikutan atau tren! Biasanya karena melihat orangtua lain melakukan tes psikologi untuk anaknya, akan bermunculan orangtua lainnya yang ikut melakukan psikotes. Padahal belum tentu anaknya punya masalah psikologis. Kalau ada orangtua datang kepada kami, lalu ingin anaknya dites hanya karena orangtua ingin saja anaknya dites, biasanya kami suruh pulang!,” tegas Any.
Mengapa? Pada dasarnya tes psikologi dilakukan bila orangtua atau guru melihat adanya masalah pada anak. Misalnya anak menunjukkan gejala gangguan cemas di rumah atau saat prestasi belajarnya terus merosot. Masalah ini harus dicari penyebabnya agar kondisi dan perkembangan anak bisa berjalan dengan baik.
Kapan anak boleh ikut tes?
Berbeda dengan tes pada orang dewasa yang harus menyelesaikan semua tes psikologi (menggunakan kartu bergambar dan alat tes lainnya), tes pada anak-anak biasanya dilakukan dengan meminta mereka bercerita atau menggambar sesuatu yang sederhana. Cara ini diharapkan bisa memunculkan apa yang menjadi gangguan atau masalah psikologis yang dialami anak.
Mereka juga bisa diajak bermain dengan permainan yang sebenarnya diarahkan untuk menggali apa yang ia rasakan. Usia yang memungkinkan anak mengikuti tes psikologi berkisar 4 atau 5 tahun, ketika anak sudah bisa diajak bicara dua arah. Sementara untuk tes IQ, Any menyarankan agar tak dilakukan pada usia dini.
“Mengukur kecerdasan secara teori, ditentukan banyak faktor. Misal kemampuan bahasa, menghitung, daya ingat, nalar, persepsi ruang, faktor kematangan sosial dan lainnya. Sebaiknya tes IQ dilakukan saat anak sudah mulai sekolah (6 tahun), dimana kemampuan komunikasi dua arah sudah lancar,” jelas Any.
Perlu Moms ketahui, tes psikologi hanya dapat diulang setahun sekali. Kalau dilakukan < 1 tahun, tidak akan bermanfaat sebab selama rentang waktu itu, performa anak tidak mengalami perubahan secara signifikan.
“Skor tes psikologi tidak bisa dimiliki orangtua, score test record hanya dipegang psikolog yang bersangkutan. Yang akan diberikan kepada Moms and Dads hanya kesimpulan dari serangkaian hasil tes secara keseluruhan, berupa uraian, tanpa skor apapun,” imbuh Any.
Saat ini banyak dilakukan tes psikologi untuk anak-anak usia TK yang akan melanjutkan ke sekolah dasar. “Tes ini untuk mengukur kemampuan dan kesiapan anak untuk sekolah. Hasil tes akan menunjukkan apakah anak sudah memiliki kematangan emosional, kemampuan melakukan interaksi sosial, mampu mengenali abjad dan sebagainya. Tes sebaiknya dilakukan paling cepat 6 bulan sebelum masuk SD,” anjurnya.
Analisis sidik jari
Kehadiran tes yang satu ini kerap menuai kontroversi. Bahkan Guru Besar Psikologi UI, Prof. DR. Sarlito Wirawan Sarwono menentang penggunaan metoda analisis sidik jari (http://news.okezone.com/read/2011/05/15/58/457267/sidik-jari).
Menurut Prof. Sarlito, pandangan bahwa kepribadian ditentukan faktor bawaan (nativisme) sudah lama ditinggalkan psikologi. Teori yang berlaku sekarang adalah kepribadian ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Untuk memeriksanya diperlukan proses panjang (metoda psikodiagnostik, assessment).
Di sisi lain, Andrian Benny Hidayat, Direktur Psychobiometric Lab RD Talent Spectrum Fingerprint Analysis menanggapi santai pelbagai komentar miring tentang validitas dan komersialisme yang ditujukan untuk metode analisis sidik jari.
“Adalah persoalan klasik, ketika ada metoda baru yang prospektif karena merupakan harapan dan kebutuhan pasar, fingerprint analysis tidak terlepas dari upaya-upaya komersialisasi. Itu wajar, dan tidak perlu dikhawatirkan selama tidak mengandung unsur penipuan, maupun hal-hal lain yang bisa menimbulkan kerugian kelak di kalangan penggunanya,” jelas Andrian.
Ia melanjutkan, “Tuduhan bahwa fingerprint analysis dijual dengan harga sangat tinggi, maka masalah harga terletak pada kondisi market, berkaitan supply and demands. Ditambah faktor teknologi dan aplikasinya yang berkaitan dengan HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), biaya research dan operasional menjadi bahan pertimbangan itu semua. Perlu diingat, yang dijual adalah produk dan jasanya, bukan pada knowledges-nya. Termasuk tidak beretika, apabila developer fingerprint analysis tidak melakukan transparansi mengenai basic knowledge formulasi dan metoda pengukurannya.”
Manfaat analisis sidik jari
Sidik jari muncul saat janin berusia 13 minggu. Menurut Andrian, kira-kira memasuki usia 4 bulan, tes sidik jari sudah bisa dilakukan. Dari sini dapat diketahui gaya belajar, kemampuan soft skill, tipe eksplorasi anak, serta potensi dan bakat anak. Sedangkan analisis sidik jari bagi Moms, dapat pula terkuak pola gaya asuhnya.
Konon, analisis sidik jari memiliki akurasi yang lebih tinggi ketimbang tes psikologi, angkanya mencapai 87,91 persen, sedangkan tes psikologi hanya 65 persen.
Menurut Andrian, analisis sidik jari memberikan hasil yang tetap, meski diulang beberapa kali atau sampai individu meninggal.
“Hal ini disebabkan sidik jari bersifat permanen, spesifik, klasifikatif, bahkan jika terluka pun, sidik jari tidak akan mengalami perubahan, baru akan hilang jika terbakar. Berbeda dengan tes psikologi, yang umumnya hasil yang diperoleh dipengaruhi situasi diri yang dialami individu saat melaksanakan tes. Dengan begitu, hasil yang diperoleh bisa berbeda setiap saat,” imbuh Andrian.
Proses analisis sidik jari cukup singkat. Sepuluh jari ditempelkan pada sebuah alat khusus secara bergantian. Setelah itu dalam layar komputer – melalui program khusus - akan muncul lubang-lubang serta guratan sidik jari. Dari sanalah kepribadian anak akan dianalisis, selang beberapa menit hasilnya dapat diketahui. Konon, tes sidik jari bisa pula digunakan untuk membantu proses terapi anak down syndrome. (Sumber: Tabloid Mom & Kiddie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar